PMK Nomor 15 Tahun 2025: Memahami Aturan Baru Pemeriksaan Pajak di Indonesia

Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah mengambil langkah signifikan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak. Regulasi ini hadir sebagai upaya untuk menyederhanakan dan mengatur kembali berbagai ketentuan pemeriksaan pajak yang sebelumnya tersebar, sehingga memberikan kepastian hukum yang lebih solid bagi Wajib Pajak. PMK ini juga bertujuan untuk menyelaraskan praktik pemeriksaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022. Dengan berlakunya PMK 15/2025, beberapa peraturan terdahulu, termasuk PMK No. 17/PMK.03/2013 beserta perubahannya dan PMK No. 256/PMK.03/2014, kini tidak berlaku lagi.

Artikel ini akan membahas esensi dari PMK Nomor 15 Tahun 2025, menyoroti aspek-aspek krusial yang relevan bagi Wajib Pajak dan para profesional di bidang perpajakan Indonesia.

Tujuan, Kewenangan, dan Jenis Pemeriksaan Pajak

Inti dari PMK terbaru ini menegaskan bahwa Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan. Tujuan utamanya adalah untuk menguji sejauh mana Wajib Pajak mematuhi kewajiban perpajakannya. Namun, pemeriksaan juga dapat dilakukan untuk tujuan lain yang sejalan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan.

PMK 15/2025 mengategorikan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan ke dalam tiga jenis utama. Pertama, Pemeriksaan Lengkap, yang menguji kepatuhan secara komprehensif atas seluruh pos dalam Surat Pemberitahuan (SPT) dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Kedua, Pemeriksaan Terfokus, yang pemeriksaannya lebih mendalam namun terbatas pada satu atau beberapa pos tertentu dalam SPT dan/atau SPOP. Ketiga, Pemeriksaan Spesifik, yang dilakukan secara spesifik dan lebih sederhana terhadap pos tertentu, data, atau kewajiban perpajakan tertentu.

Pemeriksaan dapat mencakup berbagai jenis pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), hingga Pajak Karbon, untuk berbagai periode pajak.

Kapan Pemeriksaan Pajak Dilakukan?

Berbagai situasi dapat memicu dilakukannya pemeriksaan untuk menguji kepatuhan. Beberapa di antaranya adalah ketika Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), menyampaikan SPT yang menunjukkan status lebih bayar (selain yang mengajukan permohonan restitusi Pasal 17B UU KUP) atau rugi. Pemeriksaan juga dapat dilakukan jika Wajib Pajak telah menerima pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan, atau melakukan penilaian kembali aktiva tetap. Tindakan korporasi seperti penggabungan, peleburan, likuidasi, atau jika Wajib Pajak akan meninggalkan Indonesia selamanya juga menjadi kriteria. Selain itu, pemilihan berdasarkan analisis risiko kepatuhan, adanya data konkret yang mengindikasikan pajak kurang atau tidak dibayar, atau kegagalan Wajib Pajak PBB menyampaikan SPOP setelah teguran, juga dapat menjadi dasar pemeriksaan.

Standar dan Jangka Waktu dalam Pemeriksaan

Setiap pelaksanaan pemeriksaan pajak harus berlandaskan pada Standar Pemeriksaan. Standar ini mencakup aspek umum, pelaksanaan, dan pelaporan hasil. Pemeriksa Pajak diwajibkan memiliki kualifikasi berupa pendidikan dan pelatihan teknis yang memadai, keterampilan yang relevan, serta menjunjung tinggi integritas dan independensi dalam menjalankan tugasnya.

Mengenai durasi, jangka waktu pengujian untuk Pemeriksaan Lengkap ditetapkan paling lama 5 bulan, untuk Pemeriksaan Terfokus paling lama 3 bulan, dan untuk Pemeriksaan Spesifik paling lama 1 bulan. Setelah tahap pengujian, proses Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP) dan pelaporan diberi waktu paling lama 30 hari kerja sejak Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) disampaikan25. Terdapat pengecualian untuk Pemeriksaan Spesifik yang berdasarkan data konkret, di mana jangka waktu pengujiannya maksimal 10 hari kerja, diikuti PAHP dan pelaporan juga maksimal 10 hari kerja. Perlu dicatat, jangka waktu pengujian dapat diperpanjang hingga 4 bulan untuk kasus yang melibatkan Wajib Pajak dalam satu grup atau yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing.

Interaksi Selama Pemeriksaan: Kewajiban dan Hak

Dalam proses pemeriksaan, Pemeriksa Pajak memiliki serangkaian kewajiban, seperti menunjukkan Tanda Pengenal dan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2), menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan, memberikan penjelasan mengenai alasan dan tujuan pemeriksaan serta hak dan kewajiban Wajib Pajak. Mereka juga wajib memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT sebelum SPHP diterbitkan dan menjaga kerahasiaan data Wajib Pajak. Di sisi lain, kewenangan Pemeriksa Pajak mencakup kemampuan untuk melihat dan meminjam dokumen, mengakses data elektronik, memasuki dan memeriksa lokasi yang relevan , meminta keterangan, hingga melakukan penyegelan jika diperlukan.

Sementara itu, Wajib Pajak juga memiliki hak dan kewajiban yang jelas. Hak Wajib Pajak meliputi meminta Pemeriksa Pajak menunjukkan identitas dan surat tugas resmi, menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan, dan mendapatkan penjelasan lengkap mengenai pemeriksaan. Wajib Pajak berhak mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT sebelum SPHP terbit, menghadiri Pembahasan Temuan Sementara (kecuali untuk Pemeriksaan Spesifik) dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP). Jika terdapat perbedaan pendapat mengenai dasar hukum koreksi saat PAHP, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan. Kewajiban utama Wajib Pajak adalah bersikap kooperatif dengan memperlihatkan dan/atau meminjamkan dokumen yang diminta, memberikan akses ke data elektronik, serta memberikan bantuan lain demi kelancaran pemeriksaan, termasuk menyampaikan tanggapan atas SPHP.

Alur Proses Pemeriksaan Pajak

Proses pemeriksaan diawali dengan penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2). Selanjutnya, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan akan disampaikan kepada Wajib Pajak, yang secara resmi menandai dimulainya pemeriksaan. Setelah pemberitahuan ini, Wajib Pajak tidak lagi dapat melakukan pembetulan SPT untuk periode dan jenis pajak yang sedang diperiksa51. Tahapan berikutnya melibatkan pertemuan dengan Wajib Pajak, peminjaman buku dan dokumen (Wajib Pajak memiliki waktu 1 bulan untuk memenuhinya), dan jika diperlukan, tindakan penyegelan.

Sebelum SPHP diterbitkan, umumnya dilakukan Pembahasan Temuan Sementara (kecuali untuk Pemeriksaan Spesifik). SPHP yang berisi temuan pemeriksaan kemudian disampaikan, dan Wajib Pajak diberi waktu maksimal 5 hari kerja untuk memberikan tanggapan tertulis. Proses berlanjut ke Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP) untuk mendiskusikan temuan dan tanggapan. Jika masih ada ketidaksepakatan terkait dasar hukum koreksi, Wajib Pajak dapat meminta pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan. Seluruh proses ini akan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), yang menjadi landasan untuk penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP).

Pengungkapan Sukarela, Penangguhan, dan Pemeriksaan Ulang

PMK 15/2025 tetap memberikan ruang bagi Wajib Pajak untuk melakukan pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT (sesuai Pasal 8 ayat (4) UU KUP) secara sukarela, selama SPHP belum diterbitkan oleh Pemeriksa Pajak. Jika dalam pemeriksaan ditemukan adanya dugaan tindak pidana perpajakan, pemeriksaan kepatuhan dapat ditangguhkan untuk memberi jalan bagi Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) atau penyidikan. Lebih lanjut, Pemeriksaan Ulang juga dimungkinkan apabila di kemudian hari ditemukan data baru (novum) atau atas permintaan Wajib Pajak sendiri.

Masa Transisi

Penting untuk dicatat bahwa PMK ini mengatur ketentuan peralihan. Pemeriksaan pajak (selain PBB) yang telah dimulai sebelum PMK 15/2025 berlaku namun belum selesai, akan diselesaikan menggunakan aturan lama, yaitu PMK No. 17/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK No. 18/PMK.03/2021. Sementara itu, untuk pemeriksaan PBB yang belum rampung, penyelesaiannya mengacu pada PMK No. 256/PMK.03/2014.

Penerbitan PMK Nomor 15 Tahun 2025 merupakan langkah penting dalam reformasi administrasi perpajakan di Indonesia. Dengan adanya aturan yang lebih terstruktur dan jelas, diharapkan proses pemeriksaan pajak dapat berjalan lebih efektif, transparan, dan adil. Bagi Wajib Pajak, pemahaman mendalam terhadap regulasi baru ini menjadi kunci untuk mempersiapkan diri dan menjalankan hak serta kewajiban perpajakan dengan baik, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada peningkatan kepatuhan pajak secara keseluruhan.



Disclaimer:
Artikel ini hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh dianggap sebagai nasihat pajak atau hukum. Selalu konsultasikan dengan profesional yang berkualifikasi atau bersertifikasi untuk masalah spesifik Anda.