Jakarta – Sebagai upaya memberikan edukasi dan literasi seputar perpajakan, Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I) menyelenggarakan sharing session atau seminar pajak seputar Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025.
Dalam sambutannya, Ketua Umum AKP2I Suherman Saleh mengungkapkan bahwa peraturan ini sangat penting bagi kita semua karena membahas tentang ketentuan pelaporan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Bea Meterai dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.
“Kegiatan seperti ini merupakan kebutuhan bagi seorang konsultan pajak. Selain itu, kegiatan sharing session ini juga merupakan salah satu pembuktian kita sebagai manusia yang berakal dan salah satunya bekerja menggunakan aturan yang berlaku,” ungkapnya pada Sabtu (19/07).
Ia menambahkan, kegiatan ini menjadi penting karena membahas tentang seluk beluk pelaporan pajak. Menurutnya, membayar pajak penting. Namun, melaporkan pajak juga ternyata lebih penting agar pajak yang dilaporkan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Mudah mudahan dengan seminar hari ini, narasumber bisa memberikan keyakinan kepada kita bahwa jangan sampai kita sebagai konsultan pajak terlambat membuat laporan laporan pajak. Seandainya laporan tersebut terlambat, bagaimana solusinya. Mudah mudahan lewat acara ini bisa memberikan bimbingan agar kasus yang terjadi bisa teratasi dan tidak terjadi lagi, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pajak kedepannya,” tambahnya.
Hadir sebagai narasumber, Praktisi Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Muhammad Ulil Albab menyampaikan bahwa PER-11/PJ/2025 diterbitkan agar menjadi payung hukum atau kepastian hukum untuk Wajib Pajak terkait dimulainya penggunaan aplikasi coretax untuk Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Jadi, bagaimana cara pelaporannya, apa saja yang perlu dilaporkan.
“Di PER-11/PJ/2025 ini terdapat sekitar 147 pasal, lampirannya juga banyak sekali mengenai contoh-contoh formulir untuk SPT-nya. Sehingga, penyampaian SPT itu sebagian besar sudah menggunakan secara elektronik. Walaupun nanti masih dimungkinkan untuk lapor yang manual atau fisik,” imbuhnya.
Pembahasan kali ini terkait kewajiban Wajib Pajak, mulai dari pembahasan pelaporan PPh, bagaimana cara melaporkan PPh masa maupun tahunan, bagi pemotong dan pemungut pajak seperti apa, melaporkan PPh tahunan, serta beberapa perubahan dari sebelumnya dengan yang terbaru dari peraturan tersebut.
Salah satunya adalah terdapat penyesuaian atas ketentuan per sebelumnya yaitu PER-02/PJ/2019 dan PER-21/PJ/2009 tentang penyampaian, penerimaan, dan pengolahan surat pemberitahuan.
“Sebenarnya ini bukan hanya untuk Wajib Pajak saja, tapi juga untuk DJP bagaimana nanti ketika mengadministrasikan pelaporan-pelaporan yang sudah disampaikan Wajib Pajak, jelasnya.
Ketentuan umumnya adalah ketika Wajib Pajak itu menyampaikan SPT harus lengkap, benar, dan jelas.
“Nah yang berubah itu adalah terkait penandatanganannya. Sekarang itu penandatanganannya lewat coretax nanti menggunakan kode otorisasi. Sehingga, Wajib Pajak yang sudah masuk aplikasi coretax dimohon untuk segera mengajukan pemohonan kode otorisasi. Bisa langsung kode otorisasi DJP maupun mendaftarkan sertelnya,” ujarnya.
Terkait praktiknya di lapangan, Ulil mengakui bahwa mungkin masih ada beberapa kekurangan mengenai coretax. Oleh karena itu, ia berharap di tahun berikutnya bisa semakin baik lagi dan bisa melayani Wajib Pajak dengan maksimal.
“Bagi Wajib Pajak dan DJP diharapkan dapat mempermudah meningkatkan pelayanan dan penggunaan coretax bisa semakin bagus,” pungkasnya.